1 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan keperdataan sah. Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-undang terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan perkawinan. Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata, yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.
Demikian juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia. Untuk melangsungkan sebuah perkawinan, hanya dibutuhkan dua macam syarat, yaitu:
A Syarat materil, yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat ini meliputi:
1 Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:
a. Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUHPerdata).
b. Persetujuan dari calon suami dan istri (Pasal 28 KUHPerdata).
c. Interval 300 hari bagi seorang wanita yang pernah kawin dan ingin kawin kembali (Pasal 34 KUHPerdata).
d. Harus ada izin dari orangtua atau wali bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 – Pasal 49 KUHPerdata.
2. Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu, yang terdiri atas 2 macam:
a Larangan kawin dengan keluarga sedarah.
b Larangan kawin karena zinah.
c Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
B. Syarat formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai Catatan Sipil
(Pasal 50 – 51 KUHperdata).
2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (UU Perkawinan) maka semua perundang-undangan perkawinan Hindia Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 66 UU Perkawinan.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pasal ini, tersirat bahwa perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita saja. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para pihak. Setelah perkawinan dilakukan, perkawinan tersebut pun harus dicatatkan, dalam hal ini pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil
Pasal 6 UU Perkawinan menetapkan beberapa persyaratan untuk melakukan perkawinan, yaitu:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b. Bila calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka ia harus mendapat izin kedua orangtua atau salah satunya bila salah satu orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Apabila keduanya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
c. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut di atas atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin melakukan perkawinan.
d. Ketentuan di atas tidak bertentangan atau tidak diatur lain oleh hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan.
Sementara, untuk larangan kawin, UU Perkawinan (Pasal 8) prinsipnya hanya melarang terjadinya perkawinan yang keduanya memiliki hubungan tertentu, baik hubungan sedarah, semenda, susuan atau hubungan-hubungan yang dilarang oleh agamanya atau peraturan lain.
UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
3. SOSIAL BUDAYA DITINJAU DARI ASPEK PERKAWINAN YANG BERKAITAN DENGAN PERAN BIDAN
1. Pra Perkawinan
Pelayanan kebidanan diawali dengan pemeliharaan kesehatan para calon ibu. Remaja wanita yang akan memasuki jenjang perkawinan perlu dijaga kondisi kesehatannya. Kepada para remaja di beri pengertian tentang hubungan seksual yang sehat, kesiapan mental dalam menghadapi kehamilan dan pengetahuan tentang proses kehamilan dan persalinan, pemeliharaan kesehatan dalam masa pra dan pasca kehamilan.
Promosi kesehatan pranikah merupakan suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya yang ditujukan pada masyarakat reproduktip pranikah. Remaja yang tumbuh kembang secara biologis diikuti oleh perkembangan psikologis dan sosialnya. Alam dan pikiran remaja perlu diketahui. Remaja yang berjiwa muda memiliki sifat menantang, sesuatu yang dianggap kaku dan kolot serta ingin akan kebebasan dapat menimbulkan konflik di dalam diri mereka. Pendekatan keremajaan di dalam membina kesehatan diperlukan. Penyampaian pesan kesehatan dilakukan melalui bahasa remaja.
Pemeriksaan kesehatan bagi remaja yang akan menikah dianjurkan. Tujuan dari pemeriksaan tersebut adalah untuk mengetahui secara dini tentang kondisi kesehatan para remaja. Bila ditemukan penyakit atau kelainan di dalam diri remaja, maka tindakan pengobatan dapat segera dilakukan. Bila penyakit atau kelainan tersebut tidak diatasi maka diupayakan agar remaja tersebut berupaya untuk menjaga agar masalahnya tidak bertambah berat atau menular kepada pasangannya. Misalnya remaja yang menderita penyakit jantung, bila hamil secara teratur harus memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Remaja yang menderita AIDS harus menjaga pasanganya agar tidak terkena virus HIV. Upaya pemeliharaan kesehatan bagi para calon ibu ini dapat dilakukan melalui kelompok atau kumpulan para remaja seperti karang taruna, pramuka, organisaai wanita remaja dan sebagainya.
Selain itu bidan juga berperan dalam mencegah perkawinan dini pada pasangan pra nikah dimana masih menjadi masalah penting dalam kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat, anak perempuan yang menikah pertama kali pada usia sangat muda, 10-14 tahun, cukup tinggi, jumlahnya 4,8 persen dari jumlah perempuan usia 10-59 tahun. Sedangkan yang menikah dalam rentang usia 16-19 tahun berjumlah 41,9 persen. Dengan demikian, hampir 50 persen perempuan Indonesia menikah pertama kali pada usia di bawah 20 tahun. Provinsi dengan persentase perkawinan dini tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen. Hal ini sangat berhubungan dengan sosial budaya pada daerah tersebut yang mendukung perkawinan dini.
Pernikahan dini menunjukkan posisi perempuan yang lebih lemah secara ekonomi maupun budaya. Secara budaya, perempuan disosialisasikan segera menikah sebagai tujuan hidupnya. Akibatnya, perempuan memiliki pilihan lebih terbatas untuk mengembangkan diri sebagai individu utuh.
Adanya pandangan dari orang tua segera menikahkan anak perempuan artinya keluarga akan mendapat mas kawin yang berharga di masyarakat setempat, seperti hewan ternak. Data Riskesdas memperlihatkan, perkawinan sangat muda (10-14 tahun) banyak terjadi pada perempuan di pedesaan, berpendidikan rendah, berstatus ekonomi termiskin, serta berasal dari kelompok buruh, petani, dan nelayan.
Sedangkan bagi perempuan, menikah artinya harus siap hamil pada usia sangat muda. Bila disertai kekurangan energi dan protein, akan menimbulkan masalah kesehatan yang dapat berakibat kematian bagi ibu saat melahirkan dan juga bayinya. Dan resiko hamil muda sangat tinggi.
2. Perkawinan
Pembinaan yang dilakukan oleh bidan sendiri antara lain mempromosikan kesehatan agar peran serta ibu dalam upaya kesehatan ibu, anak dan keluarga meningkat. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat.
Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini memerlukan pengetahuan aspek sosial budaya dalam penerapannya kemudian melakukan pendekatan-pendekatan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung peningkatan kesehatan ibu dan anak.
Fakta-fakta kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi - konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab - akibat antara makanan kondisi sehat - sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan sering kali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya pada dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Misalnya di Jawa Tengah adanya anggapan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Jawa Barat ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan, Masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Sikap seperti ini akan berakibat buruk bagi ibu hamil karena akan membuat ibu dan anak kurang gizi.
3. Peran Petugas Kesehatan (Bidan)/ Pemerintah
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat, mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya.
Dalam sebuah praktek kebidanan tidak sedikit hambatan dalam melaksanakanya terutama pada masyarakat plosok desa dan yang masih menjunjung tinggi budaya dan mitos mereka. Kita sebagai tenaga kesehatan bidan, harus bisa melakukan pendekatan kepada masyaratnya agar tidak salah kaprah tentang mitos-mitos yang di percayai oleh mereka. Banyak akses untuk melakukan pendekatan sosial budaya dalam praktek kebidanan terhadap orang awam, sehingga yang di inginkan orang-orang awam lebih tahu tentang masalah lingkup kehatan, terutama keshatan untuk dirinya sendri, yang di harapkan bisa mencegah atau mengobati penyakit pada dirinya sendri untuk penyakit tipe ringan, seperti demam.
Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.
b. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.
c. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
d. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
e. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya masyarakat.
f. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.
g. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, telah diuraikan dalam Permenkes, serta sistem pemerintahan desa dengan cara:
a. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang penduduk dari masing-masing RT.
b. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
c. Mempelajari data penduduk yang meliputi:
1 Jenis kelamin
2 Umur
3 Mata pencaharian
4 Pendidikan
5 Agama
d. Mempelajari peta desa
e. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.
Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama kali harus dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat.
Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
Dengan kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut. Misalnya : dengan Kesenian wayang kulit melalui pertunjukan ini diselipkan pesan-pesan kesehatan yang ditampilkan di awal pertunjukan dan pada akhir pertunjukan.
Contoh-Contoh Lain Pendekatan Sosial Budaya Dalam Praktek Kebidanan:
1 Pendekatan melalui masing-masing keluarga, jadi setiap keluarga di lakukan pendekatan
2 Pendekatan melalui langsung pada setiap individunya sendiri, mungkin cara ini lebih efektif
3 Sering melakukan penyuluhan di setiap PKK atau RT tentang masalah dan menanggulangi masalah kesehatan
4 Mengikuti arus sosial budaya yang ada dalam masyarakat tersebut, kemudian kalau sudah memahami, kita mulai melakukan pendekatan secara perlahan-lahan
5 Melawan arus dalam kehidupan sosial budaya mereka, sehinnga kita menciptakan asumsi yang baru kepada mereka, tapi cara ini banyak tidak mendapatkan respon positive
Contoh yang harus di lakukan pemerintah sebagai penunjang:
1 Membangun sarana kesehatan di setiap desa, seperti puskesmas, polindes, atau poliklinik
2 Menyediakan tenaga kesehatan yang berkompeten dan memadai
3 Fasilitas yang ada dalam sarana kesehatan harus memadai dan lengkap
4 Lebih sering di adakan penyuluhan tentang kesehatan kepada masyarakat
5 Menyediakan pelayanan kesehatan untuk orang yang tidak mampu seperti jamkes mas, jampersal, dll.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar